Jumat, 30 Juli 2010

puisi bunda

IBU AMPUNKANLAH AKU
Betapa besar pengorbananmu
Sembilan bulan aku di rahimmu
Kau pengaruh nyawa untukku
Tak sanggup ku membalas jasamu
Ibu..................
Betapa banyak dosa yang telah ku perbuat padamu
Aku mendurhakaimu
Ibu.........................
Betapa besar kasih sayangmu
Ampunilah segala dosaku
Ibu..........
Betapa banyak air susu yang mengalir di tubuhku
Betapa banyak doamu yang terucap untukku
Ibu..........
Surga ada di telapak kakimu
Betapa besar kasih sayangmu
Ampuni segala dosaku
Ibu.............
Tuhan selalu melindungimu



Anakmu
PRESENTASI KEKERASAN DAN TRAUMA SEKSUAL DALAM NOVEL DJENAR MASEA AYU
“Nayla” (2005)
Oleh Nuryati
Seksualitas merupakan suatu topik tabu di masa lampau yang kini justru dieksplorasi habis-habisan dalam karya-karya penulis perempuan tersebut. Tema seksualitas dalam karya sastra dianggap menunjukkan kian egaliternya masyarakat Indonesia. Beberapa media mengulas bagaimana seksualitas dan cara penyampaian yang nyaris menyeberangi wilayah pornografi atau vulgar dengan maraknya gerakan perempuan sejak awal tahun 90-an serta lunturnya hegemoni gender. Singkatnya, tema seksualitas adalah indikasi semakin beraninya penulis perempuan mendobrak nilai-nilai patriarkhi. Salah satu penulis perempuan muda yang mengedepankan masalah seksualitas dalam karya-karyanya sebagai salah satu bentuk pendobrakan nilai-nilai patriarkhi di antaranya Djenar Maesa Ayu dengan Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) dan Nayla.Wajah seksualitas yang ditampilkan dalam karya–karya para penulis perempuan di atas tidaklah sama. Sebagian besar tokoh perempuan rekaan Ayu Utami dalam Saman dan Larung memang bersuara lantang mempertanyakan norma –norma patriarkhi, mereka bahkan menunjukkan pemberontakan dengan melanggar nilai –nilai konvensional. Namun, seksualitas ya ng hadir dalam karya-karya Djenar Maesa Ayu (Kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) dan Nayla) tidak sepenuhnya berisi pengukuhan kepercayaan diri dalam membongkar hegemoni. Ketiga karya tersebut juga mengangkat sisi yang lebih kelam dan traumatis dari seksualitas, yang begitu erat dengan penaklukan, ketidakberdayaan dan kekerasan.
Seksualitas yang tercermin dalam karya-karya Djenar penuh dengan ketidaktahuan dan kegamangan. Budaya Indonesia yang penuh tabu menyebabkan remaja dibiarkan menemukan seksualitasnya sendiri, sehingga dalam pencarian itu kerap muncul kesadaran yang salah dan bahkan trauma. Hal ini pernah disinggung oleh Simone de Beauvoir dalam The Second Sex yang menganggap bahwa upaya menekan keingin tahuan seorang anak tentang seks hanya akan menyebabkan represi, obsesi dan neurosis. Karya -karya Djenar sebagian besar menghadirkan masa remaja yang penuh dengan ketidaktahuan juga rentan akan kekerasan seksual, selain itu secara eksplisit lebih mengulas trauma seksual yang dialami anak-anak/remaja tanpa orang tua sebagai figur panutan. Tokoh-tokoh yang masih sangat belia dipaksa mengenal seksualitas melalui perkosaan. Hal ini mengakibatkan ia memahami seksualitas sebagai relasi yang tidak
seimbang, yaitu saat laki-laki mengambil segala sesuatu dari perempuan untuk menjadi kuat. Semakin banyak laki-laki melakukan kekerasan, semakin besar pula kekuasaannya. Seksualitas begitu mudah memporakporandakan kehidupan remaja saat terjadi kekerasan seksual maupun kesadaran yang salah tentang hubungan laki -laki dan perempuan. Hal ini diperburuk oleh mitos tabu dalam masyarakat Indonesia yang membuat benteng antara dunia remaja dengan seksualitas.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa rajutan teks-teks dalam karya-karya Djenar mengarah pada metode atau cara baca patriarkhi. Dalam hal ini novel tersebut merupakan hasil pembacaan terhadap teks -teks lain, serta realitas sosial pada zamannya. Dalam istilah yang pernah dikemukakan Ignas Kleden (Kompas , 23 Februa ri 2003), pengarang sesungguhnya secara tanpa sadar telah melakukan dekonstruksi personal terhadap pengetahuan dan informasi yang telah diserapnya.
Pengarang lebih terikat pada komunitas kecilnya, bukannya individualis liberal seperti terjadi pada karya -karya sebelumnya. Oleh karena itu, tema yang meluncur pada karyanya merupakan sebuah ekspresi tentang peristiwa dan fenomena yang mereka lihat, alami dan pikirkan terjadi pada komunitasnya tersebut. Sesuatu yang sebelumnya seringkali mengalami stilisasi untuk tidak berhadapan dengan batas-batas etika. Bertitik tolak dari asumsi dasar tersebut, tulisan ini menitikberatkan pada kekerasan dan trauma seksual dalam karya-karya Djenar Maesa Ayu. Tulisan ini mengidentifikasi adanya wacana-wacana kekerasan dan trauma seksual yang terdapat di dalam novel tersebut, serta makna-makna yang termaktub dan terkandung di dalamnya.
Membicarakan karya sastra yang berani memaparkan banyak fakta bertema feminisme dianggap sebagai kelanjutan dari kebangkitan perempuan pengarang era 2000-an. Setelah itu belasan cerpennya bermunculan di sejumlah media masa. Rata-rata Djenar menulis tentang perempuan dan dunianya. Berkat cerpen-cerpennya, Djenar kerap menuai pujian sekaligus kritik pedas.
Djenar adalah feminis tanpa jargon. Sejumlah cerpennya dianggap banyak kritikus sastra sebagai karya yang mengelaborasi tema seksualitas dan dunia perempuan. Tak jarang, setiap karyanya terbit, selalu saya disertai kontroversi. Djenar sendiri tak sungkan memasukan sejumlah tema-tema krusial seksualitas berikut idiom dan frasanya. Hubungan tak lazim dalam dunia seks, dan sejumlah tema pemberontakan perempuan yang selama ini masih jarang dijamah penulis seangakatannya sekalipun. Kadang kita sering berlebihan memandang seks. Padahal pembaca dewasa membutuhkan diskusi tentang itu.
Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangannya yang sangat pesat, yaitu sebagai salah satu aspek teori kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960-an. Model analisisnya sangat beragam, sangat konstektual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teeuw (naskah blum diterbitkan), beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminisme di dunia barat tersebut. (Nyoman Kutha Ratna, 2008:....)
Kritik sastra feminis di masa kini merupakan akibat langsung dari ‘pergerakan perempuan’. Pergerakan ini bersifat sastrawi sejak awal, dalam arti ia menyadari signifikansi citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra, dan memandang bahwa penting sekali untuk melawan hal tersebut dan mempertanyakan otoritas dan koherensinya.( Peter Barry. 2010: 143)
Feminist Criticism As a distinctive and concerted approach to literature, feminist criticism was not inaugurated until late in the 1960s. Behind it, however, lie two centuries of struggle for the recognition of women's cultural roles and achievements, and for women's social and political rights, marked by such books as Mary Wollstonecraft's A Vindication of the Rights of Woman (1792), John Stuart Mill's The Subjection of Women (1869), and the American. Margaret Fuller's Woman in the Nineteenth Century (1845). Much of feminist literary criticism continues in our time to be interrelated with the movement by political feminists for social, legal, and cultural freedom and equality. An important precursor in feminist criticism was Virginia Woolf, who, in addition to her fiction, wrote A Room of One's Own (1929) and numerous other essays on women authors and on the cultural, economic, and educational disabilities within what she called a "patriarchal" society that have hindered or prevented women from realizing their productive and creative possibilities. (See the collection of her essays, Women and Writing, éd. M. Barrett, 1979).( Abrams. Glossary of Literary Terms.pdf : 89).
Jadi, tujuan feminisme adalah keseimbangan, interelasi genre. Dalam pengertian yang luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasi, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak.
Dalam pengertian psikologi kultural adalah seseorang tidak dilahirkan ‘sebagai’ perempuan, melainkan ‘menjadi’ perempuan. Oleh karena itu pula, yang ditolak oleh kelompok feminisme adalah anggapan bahwa perempuan merupakan konstruksi negatif, perempuan sebagai makhluk takluk, perempuan yang terjerat ke dalam dikotomi sentral marginal, superior inferior.
Kajian dalam makalah ini akan memfokuskan pada permasalah keterikatan antara struktur naratif dengan cerita representasi dunia feminisme, yang mendominasi tahun 60-an. Tema feminisme dianggap sebagai kelanjutan dari kebangkitan perempuan pengarang era 2000-an.
Bagi Soenarjati, kritik sastra feminis itu tidak memisahkan sikap pengarangnya atau substansi dari karya sastra. Menurutnya, baik substansi maupun pengarang merupakan satu kesatuan yang bisa dikritisi oleh para kritikus sastra feminis.


Djenar Masea Ayu: Pengarang Produktif
Kajian tentang kahidupan dan pemikiran Djenar Masea Ayu sebagai seorang penulis perempuan yang selalu menuai kontroversi untuk setiap karyanya. Setelah menulis dua kumpulan cerpen, kini Djenar menghadirkan Nayla, novel yang berkisah tentang cinta yang terdistorsi antara manusia dalam setiap wujud relasinya. Antara sesama, antara laki-laki dan perempuan, antara ibu dan anak. Dengan tetap mempertahankan inovasi dalam gaya bercerita, novel ini juga menunjukkan wujud lain proses kreatif seorang penulis.Tuturan khas Djenar yang berani dalam membahasakan dirinya membius pembaca untuk terus menyelesaikan Nayla sampai habis.
Dalam kurun waktu tujuh tahun, empat judul buku sudah tergarap, dan tiga di antaranya itu masuk sebagai shortlist anugerah sastra tahunan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, 2004 dan 2006. Dan setiap buku karyanya selalu termasuk deretan daftar buku bestseller. Sejak tanggal 3 Januari 2008 yang baru saja berlalu, Djenar menambah satu lagi karyanya. Film Mereka Bilang, Saya Monyet! Yang disutradarainya itu tak lain adalah gubahan atas karya cerpennya sendiri. “Selalu saja ada niat untuk menuangkan sisi-sisi keberanian feminis yang berbeda.
Kekerasan Simbolik dalam novel Nayla
Pendekatan kritik sastra feminis, yaitu pendekatan terhadap karya sastra dengan fokus perhatian pada masalah feminisme. Unsur yang saya analisis mencakup kekerasan simbolik yang diungkapkan oleh Djenar Maesa Ayu, kemudian dilanjutkan dengan analisis pandangan feminisme terhadap kekerasan simbolik yang diungkap oleh Djenar Maesa Ayu dalam novel Nayla. Kekerasan simbolik yang diungkapkan oleh Djenar Maesa Ayu dalam novel Nayla meliputi:
• Penyiksaan dan penggunaan simbol peniti yang melambangkan kekerasan fisik dan psikis serta pengabaian tugas orang tua atas perkembangan dan kebutuhan anaknya. Di antara karya-karya Djenar Maesa Ayu, Nayla, merupakan salah satu karya yang mempresentasikan kekerasan seksual dengan kompleks. Kekerasan seksual yang dipresentasikan dalam novel Nayla meliputi kekerasan fisik dan psikis. Novel inimengisahkan tentang seorang gadis kecil yang hidup bersama Ibu. Ibunya memperlakukan Nayla dengan sangat keras sehingga ia seringkali ketakutan. Hal ini menyebabkan Nayla memiliki kebiasaan mengompol. Menanggapi hal tersebut, Ibunya juga menggunakan kekerasan, yaitu dengan menusuki vagina anaknya dengan peniti, sebagaimana beberapa kutipan berikut.
“ Mata Nayla menatap tajam ke arah rangkaian peniti yang teronggok di atas meja tepat di depannya. Beberapa tahun lalu, Nayla masih gentar setiap kali melihat rangkaian peniti itu. Ia akan terdiam cukup lama sebelum akhirnya terpaksa memilih satu. Itu pun harus dengan cara ditampar Ibu terlebih dahulu. Beberapa tahun lalu, Nayla masih gemetar ketika tangan Ibu menyalakan pemantik lantas membakar peniti yang sudah dipilihnya. Peniti dengan ukuran terkecil, tentunya. Dan ketika peniti yang menurut Ibu sudah steril itu ditusukkan ke selangkangannya, ia akan mengapit rapat -rapat kedua pahanya. Terisak. Meronta. Membuat Ibu semakin murka. Tapi kini, beberapa tahun kemudian, tak ada satu pun yang membuat Nayla gentar maupun gemetar. Ia malah menantang dengan memilih peniti yang terbesar. Membuka pahanya lebar-lebar. Tak terisak. Tak meronta. Membuat Ibu semakin murka. Tak hanya se langkangan Nayla yang ditusukinya. Tapi juga vaginanya. Nayla diam saja. Tak ada sakit terasa. Hanya nestapa. Tak ada takut. Hanya kalut” (Ayu, 2005:1 -2).
Kutipan di atas mempresentasikan tindak kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu pada anak kandungnya. Sosok ibu dalam novel Nayla ini dipresentasikan sebagai seorang single parent yang tega melakukan kekerasan pada anaknya, mulai dari bersikap kasar, menampar, menusuk selangkangan dengan peniti, sampai menusuk vagina dengan peneliti (yang menurutnya sudah steril). Sikap tersebut ditegakkan dengan alasan untuk kedisiplinan. Nayla masih sering mengompol, untuk menghukumnya semula Ibu menusukkan peniti pada selangkangan Nayla, lama-kelamaan sang Ibu menusukkan peniti pada vaginanya. Selain itu, beberapa tindak kekerasan lain juga seringkali dilakukan ibu pada Nayla sebagaimana kutipan berikut.
“Saya dipukuli ketika menumpahkan sebutir nasi. Tidak rapi, kata Ibu. … Saya dijemur di atas seng yang panas terbakar terik matahari tanpa alas kaki ka rena membiarkan pensil tanpa kembali menutupnya. … Saya dipaksa mengejan sampai berak lantas diikat dan tahinya direkatkan dengan plester di sekujur tubuh juga mulut saya karena ketahuan tidak makan sayur. Tidak bisa bersyukur, kata Ibu (Ayu, 2005:112-113).
Segala kekerasan yang dilakukan Ibu pada anaknya, Nayla, seperti dalam kutipan di atas, menurut Ibu bukan menunjukkan bahwa ia membenci Nayla. Semua kekerasan itu dilakukan semata-mata untuk melatih kedisiplinan Nayla, dan membentuk pribadi Nayla menjadi pribadi yang kuat, seperti dirinya. Ia tidak ingin anaknya mengalami nasib yang sama seperti dirinya. Apapun alibi ibu Nayla mengenai hukuman -hukuman, penganiayaan, dan penyiksaannya pada Nayla, yang jelas semuanya merupakan proses pembentukan peri laku Nayla. Tekanan yang terus-menerus dirasakan Nayla membuatnya melakukan segala bentuk pemberontakan untuk sebuah kebebasan.
• Simbol binatang yang melambangkan manusia yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya.
“Semua berjalan cepat. Kami bercinta dalam waktu singkat. Maka, dalam waktu singkat itu tak ada satu orang pun yang bisa memuaskan saya seperti Juli, tetapi memang bukan sekedar kepuasan kelamin yang saya cari. Saya butuh kepuasan rohani. Mendengar suara mereka mengerang. Merasakan tubuh mereka menggelinjang. Menyaksikan mereka mereka tak lebih dari seekor binatang sangatlah menyenangkan. Setelah malam itu mereka akan kembali mengendus-endus kenikmatan yang saya berikan. Mereka dengan tak berdaya menunggu giliran seperti pengungsi menanti jatah makan. Jika mereka diberi satu kali lagi kesempatan, mereka mati-matian membuktikan kejantanan. Mereka merasa tertantang. Ego mereka mulai menguasai. Mereka berusaha memiliki. Tapi impian mereka itu tak akan pernah terjadi karena saya milik Juli”(Ayu, 2005: 101).
Kutipan di atas adalah menggambarkan tokoh Nayla yang memiliki kelainan seksual, dia seorang heteroseksual karena, dia suka melakukan hubungan seks dengan sesama atau lawan jenis, walaupun dia selalu melakukan seks dengan lawan jenis, tetapi dia merasakan kepuasan hanya dari seorang Juli atau sesama jenisnya.
• Adanya mitos yang diperuntukkan bagi perempuan sehingga mengakibatkan adanya ketidakadilan pada perempuan.
“persoalannya tak hanya sebatas perbedaan alat kelamin. Tapi represi terhadap alat kelamin perempuan telah membuat mereka kesulitan mengenali tubuh sendiri. Persoalannya tak hanya sebatas perbedaan alat kelamin. Tapi mitos! Laki-laki menciptakan mittos perempuan ideal. Perempuan ideal adalah perawan. Alat kelamin perempuan yang ideal adalah tidak kelebiahn cairan dan otot vaginanya kencang.
Bagaimana permpuan bisa menikmati hubungan seksual jika sejak awal mereka sudah ditakut-takuti oleh mitos keperawaan?. Sejak awal mereka sudan dibidohi secara massal bahwa hubungan seksual dari hari pertama sakitnya tak terkira akibat robeknya selaput dara. Jika selaput dara robek, vagina mengeluarkan darah. Itulah bukti kesucian yang harus dijaga sampai tiba saatnya malam pertama. Padahal kenyatannya, banyak sekali perempuan yang yang vaginanya tidak mengeluarkan darah ketika pertama kali melakukan hubungan seksual. Bahkan banyak yang tidak merasakan sakit seperti informasi yang mereka terima. Selain itu, selaput dara tidak hanya robek akibat hubuungan seksual.
Tidak hanya sampai di situ pembodohan massal yang terpaksa, mau tak mau harus diterima oleh perempuan sebagai kebenaran absolute, yaitu mitos tentang enak atau tidaknya alat kelamin permpuan ditentukan oleh kekencangan otot vagina dan tidak banyaknya cairan. Banyak mitos-mitos berkembang tentang etnis-etnis tertentu yang alat kelaminnya sudah terbukti mewakili standar ideal yang diciptakan oleh laki-laki biasanya perempuan berkulit putih kelebihan cairan. Tidak enak, becek. Yang berkulit hitam, selain tidak berlebihan cairan, otot vaginanya pun lebih alot. Akhirnya perempuan berusaha keras mengatasi kelebihan cairan dan kelenturan otot vagina. Mereka minum jamu.(Ayu, 2005 : 78-79)
Novel Nayla karangan Djenar Maesa Ayu merupakan sastra beraliran feminisme radikal tampak keradikalan pemikiran Djenar Maesa Ayu dalam mengupas mitos yang mengakibatkan kekerasan pada perempuan. Kekerasan simbolik yang diungkapkan oleh Djenar Maesa Ayu dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan yang disebabkan oleh adanya anggapan yang salah ataupun mitos. Kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan terhadap suami, istri, maupun anak bertentangan dengan nilai feminisme, yaitu nilai kesetaraan, hubungan sosial timbal-balik, dan perumusan diri-sendiri. Sedangkan kekerasan yang disebabkan karena anggapan yang salah ataupun mitos bertentangan dengan nilai kesetaraan dan kekuasaan personal, dan sejalan dengan nilai perubahan sosial.
Presentasi Kekerasan dan Trauma Seksual
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, dan meniadakan kenikmatan dan pengabaian hak asasi perempuan atas dasar gender. Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam hidupnya, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Termasuk di dalamn ya ancaman, paksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara (Kantor Menteri Negara PP. RAN PKTP, tahun 2001 -2004). Tulisan mengenai “Kekerasan dan Trauma Seksual dalam karya-karya Djenar Maesa Ayu” ini akan melihat salah satu pola sikap dari teks terhadap persoalan seks dan cara penggambaran seks, khususnya yang berkaitan dengan kekerasan dan trauma seksual para tokoh.
Konsep Kekerasan Seksual
Konsep budaya yang berlaku di masyarakat sejak jaman dulu sering menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak sederajat dan tidak sejajar posisinya dengan laki -laki. Bahkan seringkali perempuan tidak mempunyai harga diri ataupun hak. Hal ini memunculkan banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, diantaranya berbentuk pelecehan seksual, perkosaan, dan penyiksaan. Bentuk -bentuk kekerasan seksual ini dapat menimbulkan trauma seksual, baik bagi pelaku maupun yang menyaksikannya. Kekerasan seksual dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non fisik. Kekerasan fisik antara lain berupa pelecehan seksual, seperti perabaan, pencolekan (yang tidak diinginkan), pemukulan, penganiayaan, serta perkosaan. Termasuk dalam kategori ini adalah teror dan intimid asi, kawin paksa (kawin di bawah umur), incest, kawin di bawah tangan, pelacuran paksa, dan pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi (RAN PKTP/Konsultasi Regional:24, dalam Subhan, 2004:12). Sedangkan kekerasan nonfisik antara lain berupa pelecehan seksual, seperti sapaan, siulan, colekan, atau bentuk perhatian yang tidak diinginkan, direndahkan, dianggap selalu tidak mampu, dan (istri yang) ditinggal suami tanpa kabar berita (RAN PKTP/ Konsultasi Regional:24, dalam Subhan, 2004:12). Karya-karya Djenar banyak menyoroti permasalahan anak-anak dan remaja yang tidak berbahagia dalam keluarga, karena kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua, atau karena ibu atau ayah lebih mementingkan diri sendiri, atau karena telah kehilangan orang tua di masa muda, berikut pelecehan seksual terhadap sang anak oleh orang dekat dalam keluarga atau oleh lingkungannya (teman bermain atau teman sekolahnya). Dalam karya -karya Djenar Maesa Ayu, kekerasan seksual dihadirkankan melalui relasi antar tokoh. Kekerasan seksual dalam karya-karya Djenar meliputi pelecehan seksual, perkosaan, dan penyiksaan pada tokoh -tokohnya.
Presentasi Kekerasan Seksual
Novel Nayla juga mempresentasikan kekerasan seksual melalui pelecehan seksual dengan motif dan jenis yang berbeda, yaitu sebagaimana kutipan berikut.
“Saya takut mengatakan apa yang pernah dilakukan Om Indra kepada saya. Padahal saya ingin mengatakan kalau Om Indra sering meremas-remas penisnya di depan saya hingga cairan putih muncrat dari sana. Bahkan ketika kami sedang sama-sama nonton televisi dan Ibu pergi sebentar ke kamar mandi, Om Indra kerap mengeluarkan penis dari dalam celananya hanya untuk sekejap menunjukkannya kepada saya. Om Indra juga sering datang ke kamar ketika saya belajar dan menggesek-gesekkan penisnya ke tengkuk saya. Begitu ia mendengar langkah Ibu, langsung ia pura-pura mengajari saya hingga membuat Ibu memandang kami dengan terharu (Ayu, 2005:113).
Kutipan di atas mendeskripsikan kekerasan seksual melalui pelecehan seksual pada anak - anak. Pelecehan seksual ini dilakukan oleh Om Indra (pacar Ibu Nayla) pada Nayla secara sembunyi-sembunyi. Sebagai korban pelecehan seksual, Nayla tidak segera mengatakannya pada siapapun, juga pada Ibunya. Hal ini biasa terjadi pada para korban pelecehan seksual. Mereka biasanya malu untuk menceritakannya pada orang lain, walaupun sebenarnya ia adalah korbannya, bukan pelakunya. Sebagai korban pelecehan seksual teman kencan Ibunya, Nayla tidak mengadukannya pada sang Ibu, bukan disebabkan ia seorang perempuan yang tidak bisa mengatakan kebenaran, tetapi karena ia anak -anak yang tidak diajari ibunya untuk berterus–terang dan selalu takut pada Ibunya yang keras. Dengan demikian, presentasi pelecehan seksual yang dihadirkan dalam karya-karya Djenar meliputi pelecehan seksual yang dilakukan oleh laki –laki (laki-laki sebagai subjek dan wanita sebagai obyek) juga oleh wanita (wanita sebagai subjek dan laki-laki sebagai objek). Djenar dalam mempresentasikan pelecehan seksual tersebut tetap meletakkan wanita sebagai sosok pahlawan , sosok yang kuat, sosok yang ingin menikmati laki-laki bukan untuk dinikmati laki -laki.
Perkosaan
Hal serupa ju ga terjadi pada tokoh Nayla, dalam novel Nayla. Nayla
diperkosa oleh Om Indra, pacar Ibunya, sebagaimana kutipan berikut.
“…Dan pada akhirnya, ketika Ibu tidak ada di rumah, Om Indra tidak hanya mengeluarkan atupun menggesek-gesekkan penisnya ke tengkuk saya. Ia memasukkan penisnya itu ke vagina saya. Supaya tidak ngompol, katanya. Saya diam saja (Ayu, 2005:113).
Kutipan di atas mendeskripsikan bahwa Om Indra memperkosa Nayla saat ibunya sedang tidak ada di rumah. Sehari -harinya, Nayla memang selalu mengompol. Realitas ini dijadikan alasan oleh Om Indra, ia membohongi Nayla yang belum mengerti tentang coitus, bahwa tindakan memasukkan penis ke vagina itu supaya tidak ngompol. Karena tidak pernah mendapat pelajaran tentang seksualitas, Nayla diam saja. Ia menjadi korban pemerkosaan teman Ibunya.
Trauma Seksual
Dalam novel Nayla kekerasan fisik dan psikis dialami oleh tokoh Nayla dan berakibat fatal, yaitu perilaku “liar tak terkendali”. Nayla adalah seorang gadis
kecil yang hidup bersama Ibu. Ibu memperlakukan Nayla dengan sangat keras
sehingga Nayla selalu merasa ketakutan. Hal ini mengakibatkan ia mempunyai
kebiasaan buruk, mengompol. Kebiasaan buruk yang sebetulnya merupakan perwujudan dari traumatik akan kekerasan Ibu, justru diberi hukuman dengan kekerasan berikutnya oleh sang Ibu dengan menusuki selangkangan dan vagina
Nayla dengan peniti. Hal ini menjadikan Nayla semakin ketakutan pada sosok Ibu. Karena takutnya pada Ibu, segala bentuk kekerasan fisik yang dilakukan Ibu pada dirinya menjadi tidak terasa. Bahkan, saat pacar Ibu memerkosa dirinya, Nayla tidak berani mengadu pada ibunya. Nayla mengalami hubungan seksual pertama karena diperkosa Om Indra, pacar ibunya. Di sisi lain, kebiasaan Ibu menusuki selangkangan dan vaginanya dengan peniti membuatnya tidak merasakan sakit saat vaginanya ditembus dengan penis untuk pertama kalinya. Dua bentuk kekerasan seksual tersebut menjadi trauma seksual pada diri Nayla di kemudian hari. Ia lebih dapat menikmati berhubungan seksual dengan sesama jenis (dengan Juli) daripada dengan laki-laki. Namun, saat Juli bermaksud mengikatnya, dengan melarang berhubungan seksual dengan laki-laki, Nayla pun memberontak. Ia ingin bebas, tidak terikat oleh siapapun, baik laki –laki maupun perempuan. Hal ini merup akan salah satu bentuk traumatik dari masa lalu ibunya. Ia tidak ingin terikat dengan siapa pun, karena ia tidak ingin seperti ibunya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, kekerasan fisik ataupun psikis yang dialami seseorang akan mengakibatkan derita psikis yang berkepanjangan dan mempengaruhi perilaku sehari-hari yang bersifat traumatik. Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa kekerasan psikis terhadap seseorang berakibat fatal, terutama dalam proses pembentukan perilakunya. Tekanan yang terus-menerus dirasakan akan membuat seseorang melakukan segala cara untuk melepaskan diri.
Presentasi kekerasan seksual dalam karya -karya Djenar pada awalnya memberi kesan pada pembaca adanya superioritas laki -laki atas wanita, wanita biasanya menjadi objek kekerasan laki-laki. Namun, di balik itu semua, karya -karya Djenar justru mengedepankan wanita sebagai pemegang kendali. Kedudukan laki -laki terkesan dikikis oleh Djenar. Arti kehadiran laki –laki yang sebelumnya mengacu pada wacana patriarkhal yang menempatkan laki -laki pada posisi terhormat, diubah oleh Djenar menjadi laki -laki yang tidak berguna bagi orang lain dan tidak memiliki nilai sama sekali. Kekerasan fisik dan psikis yang dialami Nayla dan para tokoh lain dalam karya-karya Djenar menghadirkan suatu trauma tersendiri bagi para tokoh tersebut. Trauma tersebut akan mempengaruhi proses pembentukan perilaku para tokoh dalam menjalani kehidupan.
Begitu pula presentasi kekerasan seksualitas dalam karya-karya Djenar memperlihatkan ketidaktahuan dan kegamangan korban akan pengetahuan seksualitas sejak dini. Budaya Indonesia yang penuh tabu menyebabkan anak-anak dibiarkan menemukan seksualitasnya sendiri, sehingga dalam pencarian tersebut kerap muncul kesadaran yang salah dan bahkan trauma yang akan senantiasa membayangi kehidupannya.

Simpulan
Analisis di atas menunjukan bahwa permasalahan representasi di dalam karya sastra tidak sederhana. Dalam teks ini pun dapat kita temukan paradoks dan pengukuh terhadap realitas yang berada di luar karya. Pemaparan tentang pengarang novel Nayla menyajikan gambaran yang didominasi dunia feminisme tahun 60-an yang dibangkitkan perempuan pengarang era 2000-an.
Setelah melakukan kajian kritik atas sarana-sarana kebahasaan yang digunakan dalam novel Nayla, secara spesifik digunakan pengarang untuk menyajikan dunia imajinasinya kerap dilewatkan.
Dalam kajia-kajian

Daftar Pustaka
Abrams. Glossary of Literary Terms.pdf
Barry, Peter. 2010. Begining Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
kenia21.blogspot.com/.../nayla-djenar-maesa-ayu-novel-keren.html -
Kutha Ratna, Nyoman. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Masea Ayu, Djenar. 2005. Nayla. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lampiran
Sinopsis
Ceritanya tentang kisah hidup seorang gadis, Nayla. Nayla yang dari kecil suka ditusuk ibunya pake peniti di selangkangannya cuman gara2 ngompol. Nayla kecil yang harus menghadapi kenyataan kalau ayah ibunya telah bercerai. Ibunya mencari uang untuk bertahan hidup dengan mengandalkan "pemberian" dari om-om. Nayla yang harus bersikap manis di depan om Indra, lelaki yang menjadi kekasih ibunya, namun Nayla harus pasrah ketika dia diperkosa oleh Om Indra di umur yang masih kecil, bahkan payudaranya saja belum tumbuh! tetapi Akhirnya Nayla kabur dan tinggal di rumah ayah yang telah memiliki istri lagi. Di rumah ayahnya, Nayla merasa nyaman dan tak pernah ngompol lagi. Tapi itu hanya berlangsung dua bulan saja, karena setelah dua bulan Nayla tinggal di rumah ayahnya, ayahnya meninggal dunia. Nayla yang tertekan pun menjadi bingung ia tertawa di depan jenazah ayahnya, menganggap Tuhan sedang bercanda padanya. Karena tertawa di depan jenazah ayahnya, ia dianggap mengkonsumsi narkotika, sehingga ia dikirim ke pusat rehabilitasi obat-obatan & narkotika oleh ibu tirinya. Dan penderitaan pun menghampirinya kembali Nayla yang harus bertahan hidup sebatang kara. Perjalanan hidup Nayla dimulai ketika kabur dari tempat rehabilitasi, merampok taksi, jadi juru lampu di diskotek, jadi lesbian, sampai akhirnya menjadi seorang penulis. Novel ini mengharukan sekaligus menjadi pelajaran buat kita, pentingnya pendidikan untuk anak serta keterbukaan dalam komunikasi satu keluarga.